 Koteka Papua.
The koteka, horim, or penis sheath is a phallocrypt or phallocarp traditionally worn by native male inhabitants of some (mainly highland) ethnic groups in western New Guinea to cover their genitals. They are normally made from a dried out gourd, Lagenaria siceraria, although other species, such as Nepenthes mirabilis, are also used. They are held in place by a small loop of fiber attached to the base of the koteka and placed around the scrotum. There is a secondary loop placed around the chest or abdomen and attached to the main body of the koteka. Men choose kotekas similar to ones worn by other men in their cultural group. For example, Yali men favour a long, thin koteka, which helps hold up the multiple rattan hoops worn around their waist. Men from Tiom wear a double gourd, held up with a strip of cloth, and use the space between the two gourds for carrying small items such as money and tobacco. (wikipedia)  Koteka Papua yang dijual di Kampung Hamadi Kota Jayapura, Photo : Lia Palupi Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya penduduk asli pulau Papua. Koteka terbuat dari kulit labu (Lagenaria siceraria). Isi dan biji labu tua dikeluarkan, kulitnya dijemur. Secara harfiah, kata ini bermakna pakaian, berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai. Sebagian menyebutnya holim atau horim. Tak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di sana dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja, dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat. Namun demikian, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Yali, misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang. Sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu. Seiring waktu, koteka tak lagi dipakai. Apalagi benda ini dilarang di kendaraan umum dan sekolah-sekolah. Kalaupun ada, koteka hanya untuk diperjualbelikan sebagai cenderamata. Di kawasan pegunungan, seperti Wamena, koteka terkadang dipakai, namun untuk kepentingan wisata dan ekonomi. Untuk berfoto dengan pemakainya, wisatawan harus merogoh kantong beberapa puluh ribu rupiah. Di kawasan pantai, orang lebih sulit lagi menemukannya.
Operasi Koteka Sejak 1950-an, para misionaris mengampanyekan pengunaan celana pendek sebagai penganti koteka. Ini tidak mudah. Suku Dani di Lembah Baliem saat itu terkadang mengenakan celana, namun tetap mempertahankan koteka. Pemerintah RI sejak 1960-an pun berupaya mengurangi pemakaian koteka. Melalui para gubernur, sejak Frans Kaisiepo pada 1964, kampanye antikoteka digelar. Pada 1971, dikenal istilah "operasi koteka" dengan membagi-bagikan pakaian kepada penduduk. Akan tetapi karena tidak ada sabun, pakaian itu akhirnya tak pernah dicuci. Pada akhirnya warga Papua malah terserang penyakit kulit. (wikipedia)
|
Posting Komentar